Ditekan Pajak Pemerintah, Pengusaha Kakap RI Ramai-Ramai Hijrah ke Singapura: Jejak Seabad dari Sang Raja Gula

 

Jakarta — Fenomena hengkangnya pengusaha besar Indonesia ke Singapura kembali jadi sorotan setelah sepanjang 2025 tercatat lima perusahaan nasional resmi berpindah kepemilikan ke investor Negeri Singa. Namun, sejarah menunjukkan bahwa arus migrasi modal akibat tekanan pajak bukan sesuatu yang baru.

Lebih dari seratus tahun lalu, Indonesia pernah kehilangan salah satu konglomerat terbesar dalam sejarahnya: Oei Tiong Ham, pendiri Oei Tiong Ham Concern (OTHC), perusahaan gula terbesar di dunia pada 1893.

OTHC berbasis di Semarang namun memiliki jaringan bisnis global hingga India, Singapura, Jepang, dan London. Pada puncaknya, perusahaan ini menguasai hampir setengah perdagangan gula dunia. Kekayaan Oei ditaksir mencapai 200 juta gulden, angka fantastis pada zamannya.

Namun kekayaan besar juga menjadikannya target empuk pajak pemerintah kolonial. Sejarawan Onghokham mencatat pemerintah Hindia Belanda menjadikan Oei sebagai “mesin pendapatan” untuk menutup defisit pascaperang.

Liem Tjwan Ling menulis pemerintah kolonial bahkan menagih 35 juta gulden kepada Oei, padahal ia dikenal sebagai pembayar pajak yang tepat waktu dan penuh. Seperti dicatat Benny G. Setiono, setiap kali Oei melunasi pajak, muncul tagihan baru yang mencapai 40–50% dari total pendapatannya.

Di titik ini, Oei merasa diperlakukan tidak adil dan memilih memutus hubungan dengan pemerintah kolonial, sekaligus meninggalkan tanah kelahirannya.

Pada 1920, koran De Telegraaf memberitakan bahwa Oei berencana pindah ke Eropa. Namun saran pengacara mengubah semuanya: tarif pajak Eropa dinilai justru lebih tinggi dan lebih merugikan.

Akhirnya, pada 1921 Oei resmi meninggalkan Semarang dan menetap di Singapura, yang saat itu masih jajahan Inggris. Perbedaan beban pajak sangat mencolok, yakni Hindia Belanda 35 juta gulden, sementaraSingapura 1 juta gulden.

Migrasi satu orang saja membuat pemerintah kolonial kehilangan salah satu pembayar pajak terbesar.

Di Singapura, Oei menjadi salah satu pembeli tanah terbesar. Menurut catatan Liem, total luas propertinya mencapai seperempat wilayah Singapura. Semua properti tersebut dibeli atas nama pribadi.

Kontribusi Oei di Singapura pun membekas kuat dengan membeli Heap Eng Moh Steamship Company Limited, menjadi pemilik awal saham Overseas Chinese Bank (OCB) sebelum menjadi OCBC, menyumbang US$150.000 untuk pembangunan Raffles College, mendonasikan dana ke sekolah, rumah sakit, dan kegiatan amal.

Jejaknya begitu besar hingga namanya diabadikan sebagai nama jalan dan bangunan di Singapura. Menariknya, selama menetap di Singapura, Oei berstatus tanpa kewarganegaraan: bukan WNI Hindia Belanda, dan bukan pula warga Inggris. Status itu melekat sampai ia wafat pada 6 Juli 1924.

Kasus hengkangnya investor dan perusahaan Indonesia ke Singapura sepanjang 2025 dinilai sebagian pengamat mengulang pola serupa yaitu beban pajak dan iklim kebijakan yang dianggap menekan pelaku usaha besar.

Meski konteks dan sistem perpajakan sudah sangat berbeda dibanding era kolonial, fenomena migrasi korporasi masih menunjukkan satu pola klasik, modal memilih ruang paling stabil, efisien, dan minim tekanan.

Pertanyaannya kini, akankah Indonesia kembali kehilangan para pemain besar karena kebijakan fiskal yang dianggap membebani?

Posting Komentar

0 Komentar